WALAU HARGA CUKAI ROKOK NAIK DAN COVID-19 DI DEPAN MATA, TAK MEMBUAT PEROKOK JERA


Ilustrasi gambar by Canva

        Apa yang ada di benak man teman ketika dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini : “Mana yang harus kamu pilih berhenti merokok atau terkena Covid-19?”

Pertanyaan tersebut akan terasa berat untuk dijawab bagi mereka yang saat ini menjadi perokok aktif dan akan terasa sangat ringan dijawab bagi mereka yang pasif / bukan perokok.

Katakanlah di lingkungan teman-teman terdekat saya ( yang perokok aktif ), walaupun pada dasarnya mereka sangat tahu betul tentang bahaya merokok terlebih mempunyai resiko yang tinggi terkena Covid-19. Tetapi hal tersebut tak membuat mereka berhenti dan menganggap seolah “tak sebahaya” seperti yang orang lain katakan. Mungkin karena menganggap saat ini mereka masih baik-baik saja.

Coba deh intip kutipan dari Kemenkes, yang menyebutkan bahwa merokok merupakan salah satu faktor resiko PTM ( Penyakit Tidak Menular ) penyebab penyakit kardiofaskular, kanker, paru-paru kronis, dan diabetes serta merokok juga merupakan faktor resiko penyakit menular seperti TBC dan infeksi saluran pernafasan.

Penyakit atau akibat-akibat yang disebabkan oleh rokok itu tak dihiraukan oleh teman-teman saya. Terlihat bodo amat dengan resiko akibat rokok, tapi sangat stress ketika cukai rokok naik.

“Duh dhe, stress nih harga rokok naik mana lagi kaya gini kondisi nya” celetuk temen saya sambil nyetir kendaraan roda empat nya tersebut. “Lah yaudah ini adalah kesempatan yang baik banget buat lo bisa berhenti merokok” jawab saya dengan senyam senyum.

“Iya sih, tapi gimana dhe, gw tuh kalau nggak ngerokok kaya berasa ada yang kurang, sumpah deh nggak enak banget kalau nggak ngerokok” balas teman saya dengan pembelaanya.

Man teman bisa dilihat yah bahwa pada dasarnya teman saya tersebut sangat menyadari betul naiknya harga rokok bisa membuat dia stress dan meng-iya kan bahwa momen ini adalah kesempatan yang baik untuk berhenti merokok walaupun tetap ditambahkan argumentasi nya.

Well, mumpung lagi bahas temen saya yang stress karena naik nya cukai rokok. Pas banget tanggal 29 Juli 2020 lalu, saya menyaksikan Live Talkshow yang sangat menarik di channel youtube Berita KBR dengan topik “Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi?”.

Tanpa pikir panjang langsung pantengin talkshow nya sampai selesai. Talkshow yang di pandu oleh Host Don Brady tersebut di mulai dari jam 09.00 – 10.00 WIB dan menghadirkan narasumber-narasumber yang sangat kredibel di bidang nya. Mereka adalah :

1.  Prof. dr. Hasbullah Thabrany ( Ketua Umum Komnas Pnegendalian Tembakau ), dan

2.   Dr. Renny Nurhasana ( Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI )

Perbincangan di talkhshow yang berjalan selama 1 jam tersebut sungguh menarik perhatian saya terlebih kepada rasa penasaran saya juga terkait alasan naiknya cukai rokok di masa pandemi ini.

PEROKOK PUNYA FAKTOR RESIKO TERTINGGI TAPI JUMLAH PRODUKSI DAN PERMINTAAN MENINGKAT

Melihat pernyataan tersebut, jelas menandakan bahwa ada nya ketertolak belakangan dikeduanya.

Pernyataan tersebut pun langsung mendapatkan jawaban dari Prof. dr. Hasbullah Thabrany :

www.adhealbian.blogspot.com

Nah kan, jadi perlu man teman tahu yah bahwa virus dan perilaku merokok ini sangat bersahabat, no wonder kalau perokok memiliki resiko tertinggi terkena Covid-19. Kalau sudah begini apakah masih tetap mau melanjutkan merokok?

SIGNIFIKASI KENAIKAN CUKAI ROKOK DALAM MENGENDALIKAN KONSUMSI ROKOK

Dalam mengendalikan konsumsi rokok, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan cukai rokok. Cukai rokok sendiri sudah naik sejak per 1 Januari 2020 sebesar 23% harga eceran naik 35%. Lalu dengan naiknya cukai rokok ini apakah signifikan dalam mengendalikan konsumsi rokok?

Kembali Prof. dr. Hasbullah Thabrany memberikan jawabannya. “Belum” Jawab nya.

“Karena kenaikan cukai rokok jangan hanya dilihat dari presentase nya saja, perlu dilihat evaluasi dan lihat tujuannya. Undang undang cukai menyebutkan bahwa cukai itu adalah alat untuk mengendalikan konsumsi. Khususnya adalah konsumsi barang-barang yang membahayakan kesehatan dan membahayakan lingkungan dan membahayakan orang lain” beliau menambahkan.

Bagi saya pribadi, jika masih banyak perokok aktif yang terus menerus berkembang, bukankah pengendaliannya akan semakin sulit untuk dilakukan? Untuk itu, menurut saya perlu upaya yang lebih gencar lagi dari semua lapisan dalam mengendalikan konsumsi rokok ini.

Well, terkait hal ini, saya juga sempat mewawancarai 3 teman saya. Mereka mengaku belum ada niat untuk berhenti merokok walaupun sadar akan bahaya dan resiko yang akan didapat dari rokok. Mereka bisa  menghabiskan 1 bungkus rokok dalam sehari dengan harga 25 ribu an / bungkus.

Saat saya kembali tanya “Memangnya nggak sayang sama keluarga?” Mereka pun menjawab akan menjauh dari keluarga saat hendak merokok. Merokok ini kan sudah menjadi kebiasaan mereka, jadi walaupun ada kenaikan harga, mereka tetap memutuskan untuk merokok. Saya pun hanya bisa hela nafas dalam-dalam man teman.

Melanjutkan pernyataan Prof. dr. Hasbullah Thabrany yang menyatakan bahwa naiknya cukai belum mampu mengurangi secara signifikan konsumsi rokok. Tapi dari segi pendapatan negara sesuai peraturan presiden nomor 72 tahun 2020, penerimaan cukai hasil tembakau tahun ini sebesar 164,94 triliun rupiah.

Apakah ini hasil maksimal dan  yang bisa dikumpulkan dari cukai rokok?

Dr. Renny Nurhasana pun memberikan jawabannya : 

www.adhealbian.blogspot.com

Tiga teman saya tadi blak-blakan akan tetap terus merokok walau harga naik. Jelas saja, karena menurut mereka masih punya gaji dan mampu membeli 1 bungkus rokok per hari. Lalu bagaimana mereka yang tidak ada pekerjaan / pengangguran?.

 ANGKA PENGANGGURAN MENINGKAT DI TAHUN 2020

Badan Perencana Pembangunan Nasional ( Bapenas ) memperkirakan angka pengangguran naik 4 - 5,5 juta orang tahun 2020.

Melihat angka pengangguran tersebut, jujur saja membuat saya merinding. Kita juga tahu mengapa angka pengangguran di tahun ini bisa meningkat, salah satu alasannya adalah pandemi.

Banyak perusahaan yang akhirnya memutuskan untuk mem- PHK karyawan-karyawannya. Belum lagi berbagai bidang industri yang sangat terdampak akibat pandemi. Hal ini tentunya mengakibatkan banyak keluarga yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu apa yang bisa mereka lakukan dengan kondisi tersebut?

Menanggapi pertanyaan tersebut, berikut adalah jawaban dari Prof. dr. Hasbullah Thabrany “Tentunya pemerintah sudah mengantisipasi akan hal ini, oleh karena itu pemerintah memberikan bantuan kepada lebih dari separuh orang Indonesia/separuh keluarga di Indonesia dengan memberikan bantuan Rp. 600.000,- per bulan dan tentu PEMDA yang mampu membantunya”.

Untuk itu, walaupun harus di rumah aja saat kondisi pandemi, mereka tetap bisa mendapatkan kebutuhan dasar dan tetap bisa menjaga kesehatannya. “Ini adalah kesempatan bagi semua perokok untuk berhenti” imbuhnya.

PENGHASILAN KURANG = GAZI BURUK = ANAK STUNTING

Dengan berkurang / hilangnya penghasilan yang diakibatkan pandemi ini, membuat keluarga yang kurang mampu rentan mengalami masalah gizi. Lalu apa antisipasi pemerintah dalam menanggapi hal ini?

Melihat kajian dari Dr. Renny Nurhasana, yang menyebutkan bahwa orang tua yang perokok, anaknya akan cenderung stunting. “Jadi harus digunakan kesempatan pandemi ini utk memindahkan belajar rokok ke belajar protein dan makanan yang bergizi utk membangun otak anak-anak”. Jawab Prof. dr. Hasbullah Thabrany.

Seperti diketahui bersama, pemerintah juga telah menyiapkan 7 jenis bantuan sosial. Lalu bagaimana pemerintah dapat mengontrol dan mengecek bahwa bantuan-bantuan terutama yang berbentuk tunai digunakan sesuai dengan peruntukannya?

Menjawab ini, Dr. Renny Nurhasana mengatakan “Ini miris sekali sih datanya apalagi kita bicara bantuan yang tunai, kita tahu kalau kita dapat uang tunai, bisa saja dibelenjakan untuk membeli rokok atau hal-hal yang tidak relevan. Untuk itulah, ini yang menjadi tantangan untuk pemerintah kita dalam mengontrol dan mengecek bantuan tersebut”.

“Terkait kajian tentang stunting dan rokok, kita akan merasakannya sekitar 20 tahunan lagi lho akibatnya”. Tambah nya lagi.

Well man teman, di sekeliling saya banyak kok yang merasakan bantuan pemerintah ini, sayangnya, tak sedikit dari mereka yang tidak menggunakannya dengan bijak, salah satunya lebih memilih rokok dibandingkan pendidikan anak.

Jika hal ini banyak terjadi di keluarga, tidak menutup kemungkinan 20 tahun lagi akan banyak anak-anak yang stunting. Yuk Pak, Buk mulai detik ini gunakan bantuan tunai dengan bijak, pendidikan dan gizi anak-anak lebih penting lho dibanding rokok!!.

Lalu, langkah nyata apa yang pemerintah lakukan agar saluran bansos ini benar-benar bisa digunakan sesuai peruntukannya?

Untuk pertanyaan tersebut, Dr. Renny Nurhasana pun menjawabnya dengan lugas “Pemerintah harus melakukan review sistem penyaluran dan penggunaan bantuan sosial. Misalnya, pertama sudah pasti harus satu prinsip men denormalisasi konsumsi rokok”.

“Kedua adalah edukasi lewat Family Development Session. Jadi ceritanya penerima bansos itu punya meeting bulanan. Meeting bulanan itu harus digencarkan bahwa pembelian rokok itu nggak boleh, kalau iya, maka apa efeknya, jadi harus ada reward dan punishment. sayanganya masih belum ada, katanya sih dari kemensos lagi on progress”. Lanjut nya.

Perlu diketahui yah man teman, Denormalisasi di Indonesia ini memang masih sangat minim sekali. Terlihat bahwa di sini masayarkat nya masih menganggap bahwa rokok atau merokok itu sudah dianggap seperti barang normal.

“Nah denormalisasi ini harus dikerjakan oleh semua pihak.  Itu sih yang harus dikerjakan terutama pemerintah yang pegang kontrol terhadap uang” imbuhnya.

HARGA ROKOK YANG NAIK BERTAHAP

Hal ini banyak juga yang membuat masyarakat penasaran. Mengapa dilakukan secara bertahap dan kira-kira berapa nominal yang seharusya digunakan untuk mencapai tujuan mengendalaikan konsumsi rokok? Nah, untuk menjawab rasa penasaran tersebut, kembali Prof. dr. Hasbullah Thabrany memberikan tanggapannya.

“Tentu memang maunya kami begitu. Pemerintah mempunyai berbagai pertimbangan sesuai dengan kepentingan-kepentingan berbagai pihak. Kita tahu kalau kita minta naik langsung segitu, industri petani akan salah paham, mereka mikir kalau harga rokok naik, orang nggak akan merokok dan mereka gak akan bisa tanam tembakau. Untuk itulah kenaikkan ini dilakukan secara bertahap”.

 Mengenai nominal yang yang seharusya digunakan untuk mencapai tujuan mengendalikan konsumsi rokok, beliau menambahkan :

 “Berdasarkan kajian kami, seharusnya per bungkus itu diangka 70 ribu baru itu cukup, kalau sekarang 20 - 30 ribu. Kalau 70 ribu itu akan efektif mengendalikan konsumsi rokok. Karena hanya mereka yg sudah biasa yg akan merokok dan untuk yang belum merokok mereka tidak akan memulai”.

UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGENDALIKAN KONSUMSI ROKOK

Salah satu langkah pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok adalah melarang iklan rokok di beberapa daerah. Apakah hal tersebut mempengaruhi menurunannya pendapatan di beberapa daerah tersebut?

Apakah ada strategi dari pemerintah yang secara spesifik melihat hubungan antara merokok dengan ancaman Covid-19 ini?

Menjawab pertanyaan tersebut, berikut adalah jawaban yang dilontarkan dari Prof. dr. Hasbullah Thabrany “Strategi pemerintah memang belum sejalan dengan upaya mengendalikan konsumsi rokok yang efektif. Ini yang kami perjuangkan dari Komnas”.

Melanjutkan jawaban tersebut, Dr. Renny Nurhasana memberikan tambahan :

ALASAN MENGAPA CUKAI ROKOK NAIK DI SAAT PANDEMI

 Well man teman, berikut ini adalah beberapa hal yang saya tangkap dari talkshow terkait  alasan mengapa cukai rokok naik di tengah pandemi :

www.adhealbian.blogspot.com


Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR ( Kantor Berita Radio ) dan Indonesian Social Blogpreneur ( ISB ). Syaratnya, bisa Anda lihat disini.

Stop Smoking, Stay Safe and Stay Healthy..!! Adhe Albian signing out…!!

Comments

  1. Coba inovasi bikin permen rasa rokok aja kali yah biar perokok pada pindah konsumsi permen rokok wkwkwkww (berandai -andai)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bner toy ... palingan cuma kena diabetes yeee 😂

      Delete
    2. Hehe tapi mereka ( perokok ) ngerasa kalau nggak keluar asep katanya nggak enak Kak Rina dan Kak Rianti ;)

      Delete
  2. Super sekali 👍

    Rokok berbahaya. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau sebagian besar masih mengkonsumsi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul kak, untuk itu lah pemerintah berupaya terus menerus dalam mengendalikan konsumsi rokok salah satu nya dengan menaikkan harga cukai rokok. ;)

      Delete
  3. Rokok di Indonesia terlalu murah, jadi semua bisa beli 😣😣

    ReplyDelete
  4. Rokok dan Covid jadi sumber kematian. Namun sulit untuk menyadarkan perokok baik itu dari sosialisasi maupun dari kesehatan. Dari segi harga rokok yang naik pun tetap diabaikan oleh perokok. Semoga harga rokok bisa ditingkatkan ke jenjang yang paling tinggi sehingga perokok tak mampu beli rokok.

    ReplyDelete
  5. Membeli rokok , mengkonsumsinya tapi tahu penyebabnya. Biarkanlah, itu pilihan hidupnya mungkin pengen cepet2 menjemput kematian dan menyusahkan keluarganya. Hahaa..

    Yang penting kita sudah memberikan edukasi dan arahan, pemerintahpun udah menaikkan harga rokok, tetepaja dibeli.

    ReplyDelete
  6. Seharusnya cukai rokok itu naik dari dulu-dulu, jangan nunggu pandemi. Karakter perokok Indonesia itu, mereka merokok karena mentalnya memang masih rendah, merasa masalah idup mereka bisa selesai dengan merokok. Maka jadikan perasaan miskin muncul dulu pada diri mereka, dan perasaan miskin itu ditandai dengan tidak bisa membeli rokok. Kalau sudah merasa tidak mampu beli rokok, baru mereka mau berhenti merokok. Ironis kok memang.

    ReplyDelete
  7. Cukai naik peminat rokok tetap tinggi ya? Harus ada strategi lain terutama edukasi mendalam ke akar rumput. Miris, rokok dianggap penting dari pada beras

    ReplyDelete
  8. rokok per batang di bikin 1 juta jg sy dukung ini, jujur sy jengkel sama perokok apalagi di sekitar ada anak kecil masih aja ngerokok seenak udel sendiri, cuma mungkin karena di anggap hal biasa jadi ya gitu deh

    ReplyDelete
  9. Setuju saya kalau biaya cukai dan harga rokok terus meningkat, biar enggak sembarangan orang beli. Apalagi bisa dibeli eceran, malah menambah penyakit generasi muda.

    ReplyDelete
  10. Setiap orang punya kebutuhan sendiri-sendiri ya. Termasuk untuk merokok. Cukai rokok tinggi tidak akan menjadi solusi. Lagi-lagi menurut saya harus ada penyediaan ruang hijau terbuka untuk perokok. Agar merokok dengan tertib.

    ReplyDelete
  11. Kapan coba ya perokok bisa jera. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Aku sendiri paling ga bisa deket sama perokok, karena bisa langsung sesak.

    ReplyDelete

Post a Comment